Selasa, 04 November 2014

Kriteria Pemimpin Ideal


Semburat mega merah baru saja mewarnai langit sore itu, dengan lantang suara iqomat lantun terdengar. Belum juga usai, seseorang dengan sarung menggantung, celana hitam yang jatuh sampai dibawah mata kaki, berjaket-jas warna hitam dan berkopiah itu langsung maju ke shaf terdepan. Begitu iqomat berhenti dan jamaah sudah berdiri siap untuk shalat berjamaah, lelaki dengan sarung menggantung itu berkata "Shaf diluruskan dibelakang garis hitam" jamaah menuruti dan ritual harian itupun dimulai.

Memang tak ada yang istimewa dari kejadian senja itu, hanya saja saya kembali teringat pada tulisan saya beberapa tahun yang lalu tentang pemimpin dan imam. Disana saya menulis bahwa jika ingin menjadi pemimpin yang baik (dikehidupan nyata) belajar lah dari bagaimana imam memimpin jamaah shalatnya. (Tulisan itu sejatinya mengutip dari banyak tulisan yang saya baca)

Seorang imam adalah mereka yang terbaik pemahaman agamanya, paling cerdas akalnya, paling fasih bacaannya, yang pertama masuk islam (atau haji atau hijrah) dan yang berumur. Begitulah kiranya gambaran pemimpin ideal dalam satu tatanan masyarakat. Ia harusnya adalah orang yang paling mengerti tentang segala hal, paling bijak dalam bersikap dan bertindak, paling lantang bersuara baik verbal maupun tulisan (katakatanya berpengaruh) dan lain lain.


Sore itu, si-lelaki-dengan-sarung-menggantung itu mengajarkan saya kembali tentang gambaran pemimpin yang ideal.

Pertama. Pemimpin adalah mereka yang mengambil inisiatif.

Lelaki itu tak pernah disuruh maju untuk memimpin sholat. Sepengetahuan saya, tak ada jamaah yang mendorong lelaki itu untuk maju kedepan. Lelaki itu maju sendiri. Atas inisiatifnya sendiri, kehendak dirinya.

Jamaah itu akan bubar jika tak ada yang maju memimpin. Harus ada orang yang berinisiatif untuk maju kedepan. Berani memikul beban memimpin dan bertanggung jawab atas sah tidaknya sholat seluruh jamaah. Begitupula negeri ini, universitas kita, maupun lembaga-lembaga kita. Sebentar lagi akan ada pemilu mahasiswa, baik tingkat univ maupun fakultas. Harus ada orang-orang yang memiliki inisiatif sendiri untuk maju, berani memimpin, berani menjadi pelayan ummat! Bukan sekedar mereka yang didorong-dorong maju, atau terpaksa. Namun harus atas kemauan dan keberanian dirinya sendiri.

Kedua. Pemimpin haruslah cerdas (dan juga bijak)

Mentor saya, Dr. Arief Munandar dalam kuliah 'Paradigma Pemimpin' yang saya ikuti di ISLC UI 2011 menyampaikan bahwa salah satu kriteria penting dalam diri seorang pemimpin adalah kecerdasan. Masih ingat saat kita SD kita memilih ketua kelas yang paling cerdas? Ya sejatinya selama hidup, kita hanya 'rela' dipimpin oleh mereka yang lebih cerdas dari kita. Pemimpin yang bodoh tak akan didengar anggotanya. Selamanya ia hanya akan menjadi boneka saja.

Lelaki dengan sarung menggantung itu mengingatkan saya tentang kriteria cerdas dari seorang pemimpin. Bagi saya, cerdas tidak hanya sekedar lebih tau dari yang lain, namun ia juga dapat cepat beradaptasi, tau situasi dan juga bijak dalam tindak sikapnya.

Lelaki dengan sarung menggantung itu maju memimpin sholat, tapi kita semua faham, dia tak cukup cerdas dan bijak dalam bertindak. Bolehlah kita menyebutnya sebagai orang yang berinisiatif untuk maju dan mau memimpin, tapi ini bukan untuk bahan guyonan dan pemuasan ego saja. Ya kalau berani maju, berani membuktikan kalau emang pantas memimpin yang dibelakangnya. Kalau tiap hari hanya membaca ayat yang sama, diulang berkali kali, dengan jeda tiap bacaan yang kurang pas dan suara yang lirih terdengar amat membosankan. Maaf bukan saya memojokkan si lelaki dengan sarung menggantung itu, saya hanya ingin menjadikannya contoh agar kita mengambil ibroh pelajarannya.

Anda boleh berinisiatif untuk maju menjadi pemimpin, tapi kalau anda tak cukup cerdas dan bijak dibanding anggota anda, saya sarankan untuk mundur dan biarkan orang lain yang lebih cerdas dan bijak untuk mengembannya.

Ini bukan soal lucu lucuan,berani beranian. Ini soal kepemimpinan yang substansial. Jika mau jadi pemimpin, jadilah yang paling cerdas agar tidak memalukan. Jadilah yang paling bijak, yang tau kapan harus maju, kapan harus mundur. Kapan harus membaca A kapan harus membaca B. Kapan harus berhenti kapan harus maju.

Ketiga, pemimpin adalah yang paling bertanggung jawab.

Sah tidaknya sholat suatu jamaah adalah tergantung pada imam dari sholat tersebut. Karenanya, siapapun yang memimpin, dialah yang paling bertanggung jawab atas sah tidaknya sholat jamaah. 

Begitupula pemimpin lembaga lembaga disini, Presma, ketua bem, ketua ukm, bso, HM dll, ketua lah yang paling bertanggung jawab akan kinerja organisasinya. Baik tidaknya, jalan tidaknya, semua ada ditangan-dan menjadi tanggung jawab- ketuanya.

Sudah siapkah menjadi pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas semuanya?

Keempat, pemimpin terbaik adalah yang dicintai dan mencintai rakyatnya.

Rasulullah pernah ditanya, kriteria pemimpin terbaik itu yang bagaimana. Jawaban nabi singkat dan jelas: "yang dicintai dan mencintai rakyatnya".

Kejadian sore itu mengingatkan saya pada hadits nabi diatas. Lelaki dengan sarung menggantung itu memimpin sholat magrib hampir tiap hari, bahkan isya juga sering. Tidak, tidak salah memang. Namun menjadi kurang tepat bila setiap ada kesempatan lelaki itu maju mengambil inisiatif memimpin tanpa memberi kesempatan pada yang lain. Sekali lagi, ini hanya kurang tepat. 

Lelaki itu juga hampir selalu mengulang-ulang bacaannya, dengan nada monoton, suara lirih, intonasi, dan jeda yang membosankan. Hal ini mengakibatkan ketidaksukaan jamaah atasnya, yang berujung pada tidak khusyunya sholat para jamaah.

Pemimpin seperti diatas jelas bukan contoh yang baik. Pemimpin terbaik adalah mereka yang mencintai dan dicintai rakyatnya. Jadi kalau tidak dicintai rakyat ya tidak perlu memaksa menjadi pemimpin mereka.

Ingat, setiap ummat memiliki pemimpinnya masing-masing.

Ah kalian, paling sebentar lagi wajah wajah asing yang tanpa malu-malu itu bertebaran disudut sudut ruang warga kampus. Sampah visual kota kalau bahasa Planologinya. 

Ingat, kalau memang wajah wajah itu dicintai dan direstui oleh rakyat, ya monggo. Lanjutkan dan jaga amanah kami. Jadilah pelayan umat yang cerdas, bijak dan bertanggung jawab. Namun kalau rakyat (mahasiswa) sudah tidak cinta, jangan dipaksa. Nanti jadinya seperti jamaah sholat magrib itu, menjadi tidak khusyuk dan cuma jadi ngedumel dihati. Mungkin kalian merasa baik baik aja, tapi kami, rakyat kecil -seperti juga jamaah sholat magrib itu- kesel, ngedumel dihati dan muak.

Sudahlah, pembicaraan saya sudah terlalu melantur, nanti saya seperti kebanyakan pemimpin (atau imam?) yang membosankan dan tidak tau diri itu. Maafkan saya, ini hanya upaya mencari ibroh dari setiap kejadian disekitar kita.

Undzur ma qol wala tandzur man qol
-wallahu'alam-

4 . 11 . 2014
Saat Hujan deras mengguyur ditengah malam Yogyakarta

@retasaqabah
Kader Advokasi BEM KMFT UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar